Jendela Islam : Haneefah Binti Stefan, Islam Menyatu Dengan Gaya Hidupku



Jendela Islam : Haneefah Binti Stefan, Islam Menyatu Dengan Gaya Hidupku [ www.BlogApaAja.com ]

Haneefah binti Stefan pertama kali bersinggungan dengan Islam ketika berusia 15 tahun. Kala itu, ia membaca sebuah kisah dalam buku tentang seorang perempuan Swedia yang memeluk Islam.

Dalam hatinya, ia bergumam apa yang terjadi bila dirinya menjadi seorang Muslim, dan apakah identitas itu akan mengubah hidupnya.

Memerhatikan dengan seksama, Haneefah melihat perempuan tersebut mengenakan jilbab. Sementara ia bekerja sebagai sekretaris.

Begitu minimnya informasi tentang Islam yang diperoleh membuat dia begitu terkejut. "Dalam hatiku, bagaimana bisa dia bekerja dengan jilbab di kepalanya? Siapa yang akan mempekerjakannya?" gumam Haneefah.

Kesimpulannya, ia tidak mungkin menjadi Muslim lantaran akan mengurangi kesempatannya untuk mendapatkan pekerjaan yang diimpikan. Pemikiran ini berkat didikan orang tuanya yang jujur dan pekerja keras, namun tidak melihat agama sebagai hal penting. Tak heran, pengaruh itu begitu tertanam dalam pemikirannya.

Mereka berpandangan makna hidup sebenarnya berada di dalam hidup sendiri. Ketika manusia menjadi debu, maka ia lebih dari sekedar debu. Meski demikian, Haneefah merasa ibunya masih menghormati tradisi dalam Kristen. "Ia tak mau aku seperti dirinya. Maka ia sekolahkan aku di gereja," tuturnya.

Haneefah setuju dengan rencana ibunya. Dalam hatinya, barangkali dengan mendekatkan diri dengan gereja, maka dirinya akan beragama. Benar saja, Haneefah mulai menikmati kebersamaannya dengan gereja. Ia kembali bernyanyi, bermain teater, dan menghabiskan musim panas di kamp.

"Sebenarnya, kebersamaan itu hanya mendatangkan keraguan kuat dalam diriku tentang agama Kristen. Aku baca Alkitab, tapi tidak mendapatkan apa yang dibutuhkan," kata dia. "Aku tidak tahu ada sesuatu yang kucari. Aku tidak tahu apa itu. Aku belajar astrologi dan meditasi, tetapi tetap saja membuatku bingung."

Semenjak itu, Haneefah mulai menyimpan jurnal rohani. Jurnal ini berupa buku kecil yang berisi materi berupa literatur agama dan non-agama. Tak ketinggalan, ayat-ayat Alkitab, puisi, nyanyian Hindu, lagu atau apa pun yang memiliki arti baginya.

Di usia ke-16 tahun, Haneefah meninggalkan kota kelahirannya guna menuju kota besar. Di kota itu, ia lanjutkan pendidikannya. Selama proses adaptasi, banyak kekhawatiran dalam dirinya. "Aku memulainya dengan perasaan kurang nyaman," ujarnya.

Di sekolahnya, Haneefah dikenal sebagai pelajar Swedia yang tidak memiliki teman Swedia. Kondisi itu membuatnya jauh dari pergaulan normal.

Namun, ia melihat hal itu sebagai hal yang luar biasa. Di komunitasnya itu, ia kerap terlibat dalam diskusi tentang Islam.

Usai mengikuti diskusi, ia merasa bingung mengapa Islam bisa menjadi bagian dari gaya hidup mereka. Sementara, tidak demikian dengan Kristen.

Suatu hari, ia berpergian dengan ayahnya. Saat itu, ia mencari sejumlah buku, salah satunya adalah terjemahaan Alquran berbahasa Swedia.

Ia memutuskan membeli Alquran itu guna mendapatkan pemahaman yang lebih luas dari agama-agama yang dianut temannya. "Kini, jurnal rohani saya bertambah satu item, yakni Islam," ucap dia bangga.

Tak butuh lama, bagi Haneefah untuk mengetahui isi Alquran. Banyak hal yang menarik dirinya ketika membaca kitab suci umat Islam tersebut. Ia seolah menemukan harta karun, namun ia menyadari bahwa terjemahan ini banyak yang keliru.

Beruntung, teman-temannya banyak membantu. "Aku pergi mengunjungi temanku asal Irak. Aku katakan padanya soal ketertarikan terhadap Islam," ungkapnya.

Sang teman terkejut. Oleh temannya itu, Haneefah diajak menuju organisasi Islam. Di sana, ia mendapati sejumlah buku dan nomor telepon dari perempuan Swedia yang memeluk Islam. Sesudahnya, Haneefah merasa takut untuk memberitahu orang tuanya terkait niatannya itu.

Benar saja, ketika Haneefah memberanikan diri mengatakan niatannya itu. Keluarganya marah besar. Mereka membuang buku-buku Islamnya. Keluarganya menilai ia telah dicuci otaknya. Tapi hal itu tidak menghentikannya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah itu, ia banyak belajar tentang Islam dari perempuan Swedia yang memeluk Islam.

"Aku datangi rumahnya, kami belajar bersama. Dalam masyarakat Swedia, beribadah secara terang-terangan tidak dihargai. Tapi saat ini, aku merasa bebas dan tidak mempedulikan apa yang ada di pikiran orang lain," pungkas dia.

Follow On Twitter